Sabtu, 13 Maret 2021

CATATAN PERTAMA KE PALANGKARAYA KALTENG.

Dok foto dengan sbagian keluarga kalimantan. 

Kalimantan merupakan kampung halaman ke dua bagi keluarga kami,  karena disanalah sebagian keluarga besarku menetap, bahkan ibu mertuaku dan enam saudara dari suamiku tinggal.

 Ada yang di Palangkaraya Kalimantan Tengah, ada yang di Martapura Kalimantan Selatan disini ibu mertua dan ke lima saudara, dan ada 3 keluarga besar dari saudaraku yang di Balikpapan Kalimantan Timur. 

Pertama kali saya kesana memanfaatkan liburan sekolah tanggal 25 desember 2013 sampai 4 Januari 2014, dalam waktu 10 hari kita bagi untuk silaturrohim ketiga profinsi dengan rute Palangkaraya 3 hari ,Martapura 4 hari dan Balik Papan 3 hari. 

Hari ini diingatkan dari dokumen foto di fb yang memuat kegiatan kita sowan ibuk dan saudara-saudara di Kebun serai kecamatan Martapura Kalimantan Selatan .
Melihat dokumen foto itu menaikkan rasa kangen yang luarbiasa kepada para saudara terutana ibunda mertua tercinta. Bagi saya mertua sama dengan orangtua sendiri, kamipun  sangat dekat ikatannya walaupun tempat tinggal kami berjauhan. 

Untuk mengobati kekangenan  ini maka saya coba untuk menuliskan kesan perjalanan saat kesana, selain untuk diri saya sendiri juga bisa dinikmati paling tidak untuk keluargaku agar kesan itu tetap melekat dan merekatkan jalinan silaturrohim kami, terutama untuk cerita kepada anakku. 

Selain itu untuk mendekatkan hubungan batiniyah antar saudara yang domisilinya berjauhan diantaranya adalah dengan mengefektifkan komunikadi dan mengenal lebih dekat para putra pitri kami dan  kami tetap menerapkan urutan panggilan seperti urutan kekeluargaan di Jawa,  misalnya,  mbah,  pakde, bude, paklik, bulek  ,mbakyu,  kakang dan sterusnya. 

Keluarga kami bisa dikatakan keluarga Bhineka Tunggal ika karena saudara saudara ipar saya ada yang keturunan Dayak,  Banjar,  Bugis juga jawa,  sehingga waktu kumpul asyik -asyik seru, bila mereka menggunakan bahasa daerah sana, orangnya ketawa kitapun juga ikut tertawa walau kadang tidak tau artinya, maka kita perlu terjemahan,  begitu pula bila kami dengan bahasa jawa untuk para ponakan dan putu juga para saudara ipar juga kadang perlu terjemahan. sehingga bahasa Indonesia benar benar sebagai bahasa pemersatu di keluarga besar kami 

Saudara suami mayoritas di kalimantan dan satu adik yang tinggal di Klaten dan yang  tinggal di Tulungagung cuma dua keluarga yaitu kami dan keluarga bulik kusus.  sedangkan ibu mertua dan lima saudara suami berdomisili di Kalimantan, itupun di provinsi yang berbeda. 

Ibunda hj. Jariyah berdomisili di Martapura berdekatan dengan pakde Abdul Ghozali, bulek Umi Kulsum,  lek Budi , bulik mimin dan lek Ali Ramadani. Sedangkan kakak kedua pakde Mahfud domisilinya di Palangjkaraya. 

Pengalaman pertama saya ke Kalimantan  berbagi ke tiga Profinsi,  Pertama kita dari Surabaya ke Palangkaraya tempat kakak suamiku yang bernama kang Mahfud yang istrinya keturunan dari suku Dayak.  Stelah Palangkaraya kita ke Martapura Kalimantan Selatan, tempat ibunda mertua dan para saudara, dari Martapura kita lanjut ke Balik papan dengan jalan darat yang ditempuh selama semalaman .Jadi rute pesawat kita pulangnya dari bandara di Balikpapan-Juanda Surabaya. 

Sowan ibunda dan para saudara di kalimantan didahului ke keluarga mas Mahfud di Palangkaraya .kita mendarat di bandara Cilik Riwut yang jarak dengan rumahya mas mahfud ditempuh skitar 20 menit. 

Kesan pertama di Palangkaraya jalannya cukup luas dan banyak sungai sungai besar yang kita lalui. Kotanya penduduk dan perimahannya belum sepadat dengan kota kota di Jawa. Bangunan bangunan pemerintahan yang sangat kental mengangkat budaya khas dengan ornamen -ornamen ukiran khas menghiasi sudut-sudut bangunan. 

Ditepian sungai sungai besar kita bisa menyaksikan masih banyak rumah apung yang berderet di pinggir sungai,  karena jalur transportasi disana dulunya mayoritas dengan jalur transportasi di sungai dengan perahu. Sementara jalan darat cukup lebar karena disana yang jadi jalannya dulu baru pemukimannya beda dengan di Jawa. 
Kondisi tanahi di Kalimantan mayoritas bergambut,  sehingga airnya tidak sebersih di Jawa, selain warnanya agak kecoklatan, ada bau yang aing dan bila kita gunakan mandi maka akan tetap licin seperti ada minyaknya. 

Dan dalam perjalanan dari bandara ke rumah tak lupa kitapun juga diperkenalkan dengan makanan khas sana. Dan diantaranya buah cempedak yang baru pertama kali saya kenal secara langsung dan menikmatinya. 

Dari buah cempedak yang seperti nangka namun bentuknya yang cenderung seperti silinder itu, semuanya bisa dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang nikmat dan membikin kita ketagihan.  Mulai buah yang seperti nangka,  dami dan bahkan kulitnya bisa diolah dan dinikmati. Maka wajar saja harga cempedak lumayan mahal bila dibanding buah lainnya. 

Kalau waktu musim cempedak banyak kita temui pedagang yang menjual cempedak masih belinya ada yang bijian ada yang ditimbang,  Satu buah cempedak yang tidak terlalu besar harganya ada yang 75.000 bisa juga lebih tergantung pandainya menawar saat membeli.

Cempedak bisa kita nikmati langsung seperti buah nangka,  tapi juga bisa digoreng dikasih tepung seperti kita menggoreng pisang.  kulit dan dami cempedak ini juga bisa diolah dengan ditumis dan menjadi menu lauk yang lumayan nikmat. 

Kamipun juga diajak untuk berkeliling ke daerah kampung dayak dengan menyaksikan berbagai budayanya. Yang saya lihat setiap di depan rumah orang dayak terdapat bangunan kecil berpanggung seperti pagupon atau angkar burung merpati kalau di Jawa. 

Dari cerita kang Mahfud, pagupon di setiap depan rumah itu adalah suatu tempat menyimpan tulang belulang para leluhurnya. Setelah meninggal mayatnya bukan langsung ditempatkan dipagupon tapi ya dikubur di dalam tanah,  setelah beberapa waktu diadakan suatu upacara adat dengan menyembelih kerbau dan serangkaian kegiatan. 

Untuk mengadakan upacara itu tentunya mengeluarkan dana yang tidak sedikit, karena itu bisa dilaksanakan secara bersamaan. Dan puncak acara adat itu adalah membongkar makam para leluhurnya dan diambil tulang belulangnya yang kemudian ditempatkan di sebuah pagupon yang ditempatkan di atas dan didepan rumah dekat pintu masuk setiap rumah, itu katanya sebagai wujud penghormatan kepada para leluhurnya. 

Saya tidak menyia-yiakan waktu di palangkaraya dengan berdiam diri di rumah saja,  kitapun juga pergi ke pasar tradisional yang merupakan suatu tempat bertemunya berbagai orang dengan berbagai karakter dan budaya,  selain itu kamipun ingin mengetahui berbagai makanan dan jajanan khas disana. 

Diantaranya adalah sayuran yang baru pertama kali adalah sayuran yang disebut umbut yang merupakan ujung dari tanaman rotan,  kalau diolah dan belum terbiasa makan ada rasa -rasa agak pahitnya. Selain umbut juga ada sayuran yang seperti daun tumbuhan paku yang masih muda yang ujungnya melingkar itu. 

Sungguh pengalaman ke Palangkaraya yang sangat mengesankan. Ini catatan pertama dari palangkaraya diujung tahun 2013.Stelah 3 hari di palangkaraya kita dan keluarga kang Mahfud melakukan perjalanan darat ke Martapura yang ditempuh skitar 9 jam. Dan dalam kunjungan kedua ke palangkaraya kedua jauh lebih beda, ini akan saya tulis di episode selanjutnya. 

Saya cinta saudara, cinta, Palangkaraya dan cinta Indonesia. 








4 komentar:

  1. Tahun 2013 bulan Januari saya juga mengunjungi teman di Palangkaraya bu.... cuma 3 hari jalan-jalan di sana

    BalasHapus
  2. momory yg indah bu Kom, hrs diabadikan

    BalasHapus
  3. Iya bund, untuk melawan lupa dan juga untuk anak cerita pada anak tentang saudaranya.

    BalasHapus